Kelas XII Bab 6: Perkembangan Islam di Indonesia - KangMasroer.Com

Kelas XII Bab 6: Perkembangan Islam di Indonesia

Masjid Agung Demak
(Masjid Demak/Image source: jatengdaily.com)

A.   MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, berbagai macam agama dan kepercayaan seperti Animisme, Dinamisme, Hindu, dan Buddha telah dianut oleh masyarakat Indonesia. Bahkan pada abad 7-12 M di beberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha. Masih ingatkah kamu? Kalau lupa, coba pelajari kembali tentang kerajaan-kerajaan tersebut dalam buku pelajaran sejarah Indonesia!

Menurut hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia,” pada tanggal 17-20 Maret 1963 di Medan yang dihadiri oleh sejumlah budayawan dan sejarawan Indonesia, disebutkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada abad pertama Hijriah (kira-kira abad 8 Masehi).

Islam masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu :
a. Jalur utara, dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) - Damaskus –Bagdad - Gujarat (Pantai Barat India) - Srilangka – Indonesia
b. Jalur selatan, dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) - Yaman – Gujarat - Srilangka - Indonesia

Daerah pertama dan kepulauan Indonesia yang dimasuki Islam adalah pantai Sumatera bagian utara. Berawal dari daerah itulah Islam mulai menyebar ke berbagai pelosok Indonesia, yaitu: wilayah-wilayah Pulau Sumatera (selain pantai Sumatera bagian utara), Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, Kepulauan Maluku dan sekitarnya, dalam kurun waktu yang berbeda-beda.

peta penyebaran Islam di Indonesia
(Peta penyebaran Islam di Indonesia/Image source: www.dosenpendidikan.co.id)

Dalam waktu yang tidak terlalu lama Islam telah tersebar ke seluruh pelosok kepulauan Indonesia, sehingga mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Hal itu disebabkan antara lain sebagai berikut :
  • Adanya dorongan kewajiban bagi setiap Muslim/Muslimah, khususnya para ulamanya, untuk berdakwah mensyiarkan Islam sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya, “Sampaikanlah olehmu apa-apa yang berasal daripadaku, walau hanya satu ayat.” (Al-Hadis).
  • Adanya kesungguhan hati dan keuletan para juru dakwah untuk berdakwah secara terus-menerus kepada keluarga, para tetangga, dan masyarakat sekitarnya. Mereka berdakwah sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan rasul-Nya, yakni: tidak dengan paksaan dan kekerasan (peperangan), dengan cara bijaksana (bil-hikmah), dengan pengajaran yang baik (mau‘izatul hasanah), dengan  bertukar pikiran disertai argumentasi-argumentasi yang benar dan tepat, dan dengan contoh teladan yang betul-betul islami. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang baik dengan yang batil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (Q.S. An-Nahl, 16: 125)
  • Persyaratan untuk memasuki Islam sangat mudah, seseorang telah dianggap masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Demikian juga ajaran-ajaran Islam, mudah dipahami dan diamalkan oleh segenap rakyat Indonesia. Upacara-upacara dalam agama Islam lebih sederhana bila dibandingkan dengan upacara-upacara dalam agama lainnya.
  • Ajaran Islam tentang persamaan dan tidak adanya sistem kasta dan diskriminasi mudah menarik simpati rakyat, terutama dan lapisan bawah.
  • Banyak raja-raja Islam yang ada di berbagai wilayah Indonesia ikut berperan aktif melaksanakan kegiatan dakwah islamiah, khususnya terhadap rakyat mereka. Umumnya apa yang dianjurkan oleh para raja senantiasa ditaati oleh rakyatnya.

B.   PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

Berikut ini perkembangan Islam di Indonesia.

1. Sumatera

Dalam bahasan terdahulu sudah disebutkan hahwa daerah pertama dari kepulauan Indonesia yang dimasuki Islam adalah Sumatera bagian utara, seperti Pasai dan Perlak. Hal ini mudah diterima akal, karena wilayah Sumatera bagian Utara letaknya di tepi Selat Malaka, tempat lalu lintas kapal-kapal dagang dari India Ke Cina.

Para pedagang dari India, yakni bangsa Arab, Persi dan Gujarat, yang juga para mubalig Islam, banyak yang menetap di bandar-bandar sepanjang Sumatera Utara. Mereka menikah dengan wanita-wanita pribumi yang sebelumnya telah diislamkan, sehingga terbentuklah keluarga-keluarga Muslim.

Selanjutnya mereka mensyiarkan Islam dengan cara yang bijaksana, baik dengan lisan maupun sikap dan perbuatan, terhadap sanak famili, para tetangga, dan masyarakat sekitarnya. Sikap dan perbuatan mereka yang baik, kepandaian yang lebih tinggi, kebersihan jasmani dan rohani, sifat kedermawanan serta sifat-sifat terpuji lainnya yang mereka miliki menyebabkan para penduduk hormat dan tertarik pada Islam, lalu tertarik masuk Islam.

Para mubalig Islam pada waktu itu, tidak hanya berdakwah terhadap para penduduk biasa, tetapi juga kepada raja-raja kecil yang ada di bandar-bandar sepanjang Sumatera Utara. Ketika raja-raja tersebut masuk Islam, rakyat mereka pun kemudian banyak yang masuk Islam.

Hingga akhirnya berdiri kerajaan Islam pertama, yaitu Samudra Pasai. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1261 M, di pesisir timur Laut Aceh Lhokseumawe (Aceh Utara), rajanya bernama Marah Silu, bergelar Sultan Al-Malik As-Saleh. Beliau menikah dengan putri Raja Perlak yang memeluk agama Islam.

Peta Kerajaan Pasai
(Peta Samudra Pasai/Image source: www.sejarah-negara.com)

Samudra Pasai semakin berkembang dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hubungannya dengan pelabuhan Malaka, yang waktu itu sudah menjadi kerajaan kecil, semakin ramai, sehingga di tempat itu pun sejak abad ke-14 Masehi telah tumbuh dan berkembang masyarakat Islam.

Seiring dengan kemajuan kerajaan Samudra Pasai yang sangat pesat. pengembangan agama Islam pun mendapat perhatian dan dukungan penuh. Para ulama dan mubalignya menyebar ke seluruh Nusantara, ke pedalaman Sumatera, pesisir barat dan utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Tidore, dan pulau-pulau lain di kepulauan Maluku. Itulah sebabnya di kemudian hari Samudra Pasai terkenal dengan sebutan Serambi Mekah.

2. Jawa

Kapan tepatnya Islam mulai masuk ke Pulau Jawa tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun, penemuan nisan makam Siti Fatimah binti Maimun di daerah Leran/Gresik yang wafat tahun 1101 M dapatlah dijadikan tonggak awal kedatangan Islam di Jawa.

Hingga pertengahan abad ke-13, bukti-bukti kepurbakalaan maupun berita-berita asing tentang masuknya Islam di Jawa sangatlah sedikit. Baru sejak akhir abad ke-13 M hingga abad-abad berikutnya, terutama sejak Majapahit mencapai puncak kejayaannya, bukti-bukti proses pengembangan Islam ditemukan lebih banyak lagi. Misalnya saja penemuan kuburan Islam di Troloyo. Trowulan, dan Gresik, juga berita Ma Huan (1416 M) yang menceritakan tentang adanya orang-orang Islam yang bertempat tinggal di Gresik.

Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu telah terjadi proses penyebaran agama Islam, mulai dari daerah pesisir dan kota-kota pelabuhan sampai ke pedalaman dan pusat Kerajaan Majapahit. Adanya proses penyebaran Islam di Kerajaan Majapahit terbukti dengan ditemukannya nisan makam Muslim di Trowulan yang letaknya bendekatan dengan kompleks makam para bangsawan Majapahit.

Pertumbuhan masyarakat Muslim di sekitar Majapahit sangat erat kaitannya dengan perkembangan hubungan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Islam yang telah memiliki kekuatan politik dan ekonomi di Kerajaan Samudra Pasai dan Malaka. Untuk masa-masa selanjutnya pengembangari Islam di tanah Jawa dilakukan oleh para ulama dan mubalig yang kemudian terkenal dengan sebutan Wali Sanga (sembilan wali).

Wali Sanga
(Wali Sanga/Image source: www.ahadi.id)

WALI SANGA

1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik

Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Magribi merupakan wali tertua di antara Wali Sanga yang mensyiarkan agama Islam di Jawa Timur, khususnya di Gresik, sehingga dikenal pula dengan nama Sunan Gresik.

Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik dengan mendirikan masjid dan pesantren, tempat mengajarkan Islam kepada para santri dan kepada segenap penduduk agar menjadi umat Islam yang bertakwa. Beliau wafat pada tahun 1419 M (882 H) dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik.

2. Sunan Ampel

Sunan Ampel nama aslinya adalah Raden Rahmat. Lahir pada tahun 1401 M dan wafat tahun 1481 M serta dimakamkan di desa Ampel. Sunan Ampel menikah dengan seorang putri Tuban bernama Nyi Ageng Manila dan dikaruniai empat orang anak, yaitu: Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Nyi Ageng Maloka, dan putri yang menjadi istri Sunan Kalijaga.

Jasa-jasa Sunan Ampel antara lain :
  • Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Dari pesantren ini lahir para mubalig kenamaan, seperti: Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak pertama), Raden Makdum (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishak yang pernah diutus untuk mensyiarkan Islam ke daerah Blambangan.
  • Berperan aktif dalam membangun masjid agung Demak, yang dibangun pada tahun 1479 M.
  • Memelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Fatah sebagai sultan pertamanya.

3. Sunan Bonang

Sunan Bonang nama aslinya adalah Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel, lahir tahun 1465 M dan wafat tahun 1515 M. Semasa hidup beliau mempelajari Islam dan ayahnya sendiri, kemudian bersama Raden Paku merantau ke Pasai untuk mendalami Islam. Jasa beliau sangat besar dalam penyiaran Islam.

4. Sunan Giri (1365 - 1428)

Beliau adalah salah seorang wali yang sangat besar pengaruhnya di Jawa, terutama di Jawa Timur. Ayahnya, Maulana Ishak, berasal dari Pasai dan ibunya, Sekardadu, putri Raja Blambangan Minak Sembayu. Belajar Islam di pesantren Ampel Denta dan di Pasai.

Sekembalinya di Gresik, Sunan Giri (Raden Paku) mendirikan pesantren di Giri, kira-kira 3 km dari Gresik. Selain itu, beliau mengutus para mubalig untuk berdakwah ke daerah Madura, Bawean, Kangean, bahkan ke Lombok, Makasar, Ternate dan Tidore.

5. Sunan Drajat

Nama aslinya adalah Syarifuddin, putra Sunan Ampel dan adik Sunan Bonang. Beliau berjasa dalam mensyiarkan Islam dan mendidik para santri sebagai calon mubalig. Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah dan bahkan ada yang dari Ternate dan Hitu Ambon.

6. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati lebih dikenal dengan sebutan Syarif Hidayatullah atau Syeikh Nurullah. Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat dan berhasil mendirikan dua buah kerajaan Islam, yakni Banten dan Cirebon, serta berhasil pula menguasai pelabuhan Sunda Kelapa yang dulunya dikuasai oleh kerajaan Hindu Pakuan. Syarif Hidayatulah wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati (7 km sebelah utara Cirebon).

7. Sunan Kudus

Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, lahir pada pertengahan abad ke-15 dan wafat pada tahun 1550 M (960 H). Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, Jawa Tengah bagian utara. Untuk melancarkan mekanisme dakwah Islam, Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang terkenal sebagai Masjid Menara Kudus, yang dipandang sebagai warisan kebudayaan Islam Nusantara.

Sunan Kudus juga terkenal sebagai seorang sastrawan, di antara karya sastranya yang terkenal adalah gending Maskumambang dan Mijil.

8. Sunan Kalijaga

Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid, salah seorang Wali Sanga yang terkenal karena berjiwa besar, toleran, dan juga pujangga. Beliau adalah seorang mubalig yang berdakwah sambil berkelana. Di dalam dakwahnya Sunan Kalijaga sering menggunakan kesenian rakyat (gamelan, wayang, serta lagu-lagu daerah). Beliau wafat pada akhir abad ke-16 dan dimakamkan di desa Kadilangu sebelah timur laut kota Demak.

9. Sunan Muria

Nama aslinya Raden Umar Said, putra dari Sunan Kalijaga. Beliau seorang mubalig yang berdakwah ke pelosok-pelosok desa dan daerah pegunungan. Di dalam dakwahnya beliau menggunakan sarana gamelan serta kesenian daerah lainnya. Beliau dimakamkan di Gunung Muria, yang terletak di sebelah utara kota Kudus.

3. Sulawesi

Pulau Sulawesi sejak abad ke-15 M sudah didatangi oleh para pedagang Muslim dari Sumatera, Malaka, dan Jawa. Menurut berita Tom Pires, pada awal abad ke-16 di Sulawesi banyak terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang sebagian penduduknya masih memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Di antara kerajaan-kerajaan itu yang paling besar dan terkenal adalah kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, dan Sopang.

Nama Gowa Tallo sebenarnya adalah nama dua kerajaan yang berdampingan dan selalu bersatu, seolah-olah merupakan kerajaan kembar. Oleh karena letaknya berada di kota Makasar, maka Gowa Tallo disebut juga Kerajaan Makasar, yang istananya terletak di Sumba Opu.

Istana Balla Lompoa
(Istana Balla Lompoa/
Image source: sejarahlengkap.com)

Pada tahun 1562-1565 M, di bawah pimpinan Raja Tumaparisi Kolama, Kerajaan Gowa Tallo berhasil menaklukkan daerah Selayar, Bulukumba, Maros, Mandar, dan Luwu. Pada masa itu, di Gowa Tallo telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dalam jumlah yang cukup besar.

Kemudian atas jasa Dato Ribandang dan Dato Sulaemana, penyebaran dan pengembangan Islam menjadi lebih intensif dan mendapat kemajuan yang pesat. Pada tanggal 22 September 1605 Raja Gowa yang bernama Karaeng Tonigallo masuk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin. Beliau menjalin hubungan baik dengan kerajaan Ternate, bahkan secara pribadi beliau bersahabat baik dengan Sultan Babullah dari Ternate.

Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam, Gowa melakukan perluasan kekuasaannya. Daerah Wajo dan Sopeng berhasil ditaklukkan dan diislamkan. Demikian juga Bone, berhasil ditaklukkan pada tahun 1611 M. Sejak saat itu Gowa menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai.

Para pedagang dari Barat yang hendak ke Maluku singgah di Gowa untuk mengisi perbekalan, bahkan kemudian rempah-rempah dari Maluku dapat diperoleh di sana, terkadang dengan harga yang lebih murah daripada di Maluku. Gowa menjadi pelabuhan dagang yang luar biasa ramai, disinggahi para pedagang dari berbagai daerah dan mancanegara. Hal ini tentu saja mendatangkan keuntungan yang sangat besar, ditambah lagi persembahan dan upeti dari daerah-daerah taklukannya, maka Kerajaan Gowa pun menjadi kerajaan yang kaya-raya dan disegani pada masanya.

4. Kalimantan

Kalimantan, yang letaknya lebih dekat dengan Pulau Sumatera dan Jawa, ternyata menenima kedatangan Islam lebih belakangan dibanding Sulawesi dan Maluku.

Sebelum Islam masuk ke Kalimantan, di Kalimantan Selatan terdapat kerajaan-kerajaan Hindu yang berpusat di negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang terletak di hulu sungai Nagara dan Amuntai Kimi. Kerajaan-kerajaan ini sudah menjalin hubungan dengan Majapahit, bahkan salah seorang raja Majapahit menikah dengan Putri Tunjung Buih. Hal tersebut tercatat dalam Kitab “Negara Kertagama” karya Empu Prapanca.

Menjelang kedatangan Islam, Kerajaan Daha diperintah oleh Maha Raja Sukarama. Setelah beliau meninggal digantikan oleh Pangeran Tumenggung. Hal ini menimbulkan kemelut keluarga, karena Pangeran Samudra (cucu Maha Raja Sukarama) merasa lebih berhak atas takhta kerajaan. Akhirnya Pangeran Samudra dinobatkan menjadi Raja Banjar oleh para pengikut setianya, yang membawahi daerah Masik, Balit, Muhur, Kuwin dan Balitung, yang terletak di hilir sungai Nagara.

Berdasarkan hikayat Banjar, Pangeran Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak (Sultan Trenggono) untuk memerangi Kerajaan Daha, dengan perjanjian apabila Kerajaan Daha dapat dikalahkan maka Pangeran Samudra beserta rakyatnya bersedia masuk Islam. Ternyata berkat bantuan tentara Demak, Pangeran Tumenggung dan Kerajaan Daha dapat ditundukkan sesuai dengan perjanjian, akhirnya Raja Banjar, Pangeran Samudra beserta segenap rakyatnya masuk Islam dan bergelar Sultan Suryamullah. Menurut A.A. Cense dalam bukunya, “De Kroniek van Banjarmasin 1928”, peristiwa itu terjadi pada tahun 1550 M.

Sultan Suryamullah memindahkan ibukota kerajaannya dari Muara Bahan ke Banjarmasin, yang letaknya lebih strategis, sehingga mudah disinggahi kapal-kapal yang berukuran lebih besar. Pada masa itu Sultan Suryamullah berhasil menaklukkan daerah Sambas, Batanghari, Sukadana, Kota Waringin, Pambuang, Sampit, Mendawai, Sabangan, dan lain-lain.

Hampir bersamaan waktunya, daerah Kalimantan Timur telah pula didatangi oleh orang-orang Islam. Berdasarkan hikayat Kutai, pada masa pemerintahan Raja Mahkota, datanglah dua orang ulama besar bernama Dato Ribandang dan Tuanku Tunggang Parangan. Kedua ulama itu datang ke Kutai setelah orang-orang Makasar masuk Islam. Dato Ribandang kemudian kembali ke Makasar, sedangkan Tuanku Tunggang Parangan menetap di Kutai. Raja Mahkota kemudian masuk Islam setelah merasa kalah dalam ilmu kesaktian.

Proses penyebaran Islam di Kutai dan sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575 M. Penyebaran Islam secara lebih intensif sampai ke daerah-daerah pedalaman terjadi setelah Raja Mahkota wafat. Putranya, Pangeran Aji Langgar, dan penggantinya melakukan perluasan kekuasaan ke daerah Muara Kaman.

5. Maluku dan Sekitarnya

Antara tahun 1400 - 1500 M (abad ke-15) Islam telah masuk dan berkembang di Maluku, dibawa oleh para pedagang Muslim dari Pasai, Malaka, dan Jawa. Mereka yang sudah beragama Islam banyak yang pergi ke pesantren-pesantren di Jawa Timur untuk mempelajari Islam.

Raja-raja di Maluku yang masuk Islam di antaranya:
  1. Raja Ternate, yang kemudian bergelar Sultan Mahrum (1465 - 1486). Setelah beliau wafat, digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang besar jasanya dalam mensyiarkan Islam di kepulauan Maluku dan Irian, bahkan sampai ke Filipina.
  2. Raja Tidore, yang kemudian bergelar Sultan Jamaludin.
  3. Raja Jailolo, yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin.
  4. Raja Bacan, yang masuk Islam pada tahun 1520 dan bergelar Sultan Zaenal Abidin.
Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian, yang disiarkan oleh raja-raja Islam Maluku, para pedagang dan para mubalig yang juga berasal dan Maluku. Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.

C. HIKMAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

Hikmah perkembangan Islam di Indonesia dapat dipahami dari peranan umat Islam di Indonesia pada masa penjajahan, masa perang kemerdekaan dan masa pembangunan.

1. Masa Penjajahan

a. Peranan Umat Islam pada Masa Penjajahan

Sebelum kaum penjajah, yakni Portugis, Belanda, dan Jepang, masuk ke Indonesia, mayoritas masyarakat Indonesia telah menganut agama Islam. Agama Islam agama yang sempurna, yang ajarannya mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah (akidah dan ibadah), maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia dan makhluk Allah lainnya (sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan).

Dengan dianutnya agama Islam oleh mayoritas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah banyak mendatangkan perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain:
  • Masyarakat Indonesia dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta dibimbing agar menghambakan diri hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
  • Rasa persamaan dan rasa keadilan yang diajarkan Islam, (lihat Q.S. An-Nahl : 90), mampu mengubah masyarakat Indonesia yang dulunya menganut sistem kasta dan diskniminasi menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan, harkat, martabat, dan hak-hak yang sama.
  • Semangat cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan “Hubbul-Watan Minal-Imãn” (cinta tanah air sebagian dan iman) mampu mengubah cara berpikir masyarakat Indonesia, khususnya para pemudanya, yang dulunya bersifat sektanian (lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat nasionalis (lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya). Hal ini ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda yang bernama Jong Indonesia pada bulan Februari 1927 dan dikumandangkannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
  • Semboyan yang diajarkan Islam yang berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan” telah mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara. Mula-mula dengan cara damai, tapi karena tidak bisa lalu dengan menempuh cara peperangan.
Allah SWT berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Q.S. Al-Baqarah: 190).

Menurut Islam, berperang dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, negara, dan agama merupakan “Jihad fi sabilillah” yang hukumnya wajib. Sedangkan umat Islam yang mati dalam “Jihad fi sabilillah” tersebut dianggap mati syahid, yang imbalannya adalah surga. Perubahan-perubahan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang ditanamkan Islam tersebut mendorong umat Islam Indonesia di berbagai pelosok tanah air untuk berjuang mengusir kaum penjajah dengan berbagai cara, antara lain dengan cara peperangan.

Perjuangan mengusir penjajah terus berlanjut, sampai kaum penjajah betul betul angkat kaki dari bumi Indonesia.

b. Perlawanan Kerajaan Islam dalam Menentang Penjajahan

1.  Perlawanan terhadap Penjajah Portugis

Bangsa Portugis datang dari Eropa Barat ke Dunia Timur, termasuk Indonesia, dengan semboyan “gold (tambang emas), glory (kemuliaan, keagungan), dan gospel (penyebaran agama Nasrani).”

Untuk mewujudkan semboyan tersebut, bangsa Portugis melakukan berbagai usaha dengan menghalalkan segala cara. Antara lain pada tahun 1511 mereka merebut Bandar Malaka, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Sultan Mahmud Syah (1488-1511). Dari Malaka bangsa Portugis melebarkan pengaruh dan kekuasaannya ke kepulauan Nusantara, antara lain ke kepulauan Maluku lalu mendirikan benteng pertahanan di sana, dan ke Pulau Jawa dengan mendirikan benteng pertahanan di Sunda Kelapa.

Sikap bangsa Portugis yang kasar dan angkuh, yang bermaksud merebut kekuasaan dan memaksakan kemauannya dalam perdagangan, menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia bangkit untuk memberikan perlawanan mengusir penjajah Portugis dari bumi Nusantara.

Putra Mahkota Kesultanan Demak, Adipati Unus, memimpin penyerangan terhadap penjajah Portugis di Malaka (1513), dengan mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh bala tentara Aceh dan Sultan Malaka yang sudah tersingkir. Namun penyerangan ini dapat digagalkan oleh penjajah Portugis, karena keunggulan mereka di bidang persenjataan, perlawanan terhadap penjajah Portugis yang bermarkas di Malaka ini diteruskan oleh Sultan Trenggono yang memerintah Demak selama 25 tahun (1521-1546). Berkali-kali beliau mengirim bantuan ke Johar dan Aceh untuk merebut Malaka dari penjajahan Portugis, namun tetap tidak berhasil.

Kalau perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis yang bermarkas di Malaka mengalami kegagalan, lain halnya dengan perlawanan terhadap penjajah Portugis yang berpusat di Sunda Kelapa (Jakarta) dan Maluku yang memperoleh hasil gemilang.

Sunda Kelapa
(Gambaran Sunda Kelapa/Image source: http://samuelramol.blogspot.com)

Pada tahun 1526 bala tentara Demak di bawah pimpinan panglima perang Fatahillah berangkat melalui jalan laut menuju Sunda Kelapa untuk mengusir penjajah Portugis. Setibanya di Sunda Kelapa, Fatahillah dan bala tentaranya mengepung Sunda Kelapa dan terjadilah pertempuran sengit melawan penjajahan Portugis. Dalam pertempuran ini Fatahillah dan bala tentaranya memperoleh kemenangan. Sunda Kelapa direbut dari tangan penjajah. Kemudian Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.

Di daerah Maluku, Portugis yang bersahabat dengan Ternate, dan Spanyol yang bersahabat dengan Tidore, berhasil mengadu domba dua kerajaan Islam tersehut. Sementara kedua kerajaan tersebut bertempur mati-matian, Portugis dan Spanyol mengadakan Perjanjian Tondesilas (1529) yang isinya:
  • Maluku menjadi milik Portugis
  • Filipina Selatan menjadi milik Spanyol
Perjanjian ini sangat menekan rakyat Maluku, terutama Ternate. Oleh karena itu, Sultan Haerun bersama rakyatnya berbalik melawan Portugis. Kebencian rakyat Ternate semakin meluas, ketika Sultan Haerun dibunuh secara licik pada tahun 1570. Perang pun meletus, dipimpin Sultan Baabullah, putra Sultan Haerun, rakyat Ternate berperang dengan gagah berani. Setelah berperarang selama empat tahun, akhirnya pada tahun 1574. rakyat Ternate berhasil mengusir Portugis dari bumi Maluku.

2. Perlawanan terhadap Penjajah Belanda

Setelah penjajah Portugis angkat kaki dari bumi Indonesia, bangsa Indonesia kembali dijajah oleh bangsa Belanda, yang untuk pertama kali berlabuh di Banten pada tahun 1596 dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia sama dengan tujuan penjajah Portugis, yakni untuk memaksakan praktik monopoli perdagangan dalam menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Nusantara.

Untuk mencapai tujuan tersebut, penjajah Belanda menempuh berbagai usaha dan menghalalkan segala cara. Misalkan, menerapkan politik Divide et Impera muslihat damai, mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dari bumi Nusantara untuk membangun bangsanya, dan membiarkan rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Menghadapi sikap dan perilaku penjajah Belanda yang tidak berperi kemanusiaan dan berperikeadilan tersebut, kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam yang ada di berbagai pelosok Indonesia, dipimpin panglima perangnya masing-masing, bangkit mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Sejarah mencatat dengan tinta emas, sederetan nama para pejuang kusuma bangsa yang rela menderita, bahkan berkorban jiwa dalam berperang melawan penjajah Belanda, demi tegaknya kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Di Pulau Jawa nama-nama tersebut antara lain: Sultan Ageng Tirtayasa, Kyai Tapa dan Bagus Buang dari Kesultanan Banten, Sultan Agung dari Kesultanan Mataram, dan Pangeran Diponegoro dari Kesultanan Yogyakarta. Di Pulau Sumatera tercatat nama Tuanku Imam Bonjol, yang telah meminipin bala tentara Muslim dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 17 tahun, sehingga merepotkan penjajah Belanda dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Setelah Tuanku Imam Bonjol tertangkap, perjuangan diteruskan oleh Tuanku Tambusai.

Diponegoro
(Pangeran Diponegoro dan pasukannya/Image source: republika.co.id)

Dari Kesultanan Aceh kita mengenal sederetan nama para panglima perang Islam seperti: Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Cek Ditiro, Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, dan Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah.

Dari Maluku, yakni dari Kesultanan Ternate dan Tidore, tercatat nama-nama para pejuang kusuma bangsa seperti Saidi, Sultan Jamaluddin, dan Pangeran Neuku.

Dari Sulawesi Selatan, yakni dari kerajaan Gowa-Tallo dan Bone, terkenal nama para pahlawan bangsa seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.

Sedangkan dari Kalimantan Selatan, rakyat yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat pajak yang tinggi dan kewajiban kerja paksa serempak mengangkat senjata di bawah pimpinan para panglima perang, seperti : Pangeran Antasari, Kyai Demang Lemam, Berasa, Haji Masrin, Haji Bayasin, Kyai Langlang, Pangeran Hidayat, Pangeran Maradipa, dan Tumenggung Mancanegara.

Demikianlah nama-nama para pahlawan Islam sebagai para pejuang kusuma bangsa dari berbagai kepulauan di Nusantara, yang telah berperang melawan imperialisme Belanda. Sayangnya. perlawanan mereka dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Hal ini disebabkan antara lain karena perlawanan mereka lebih bersifat lokal regional sporadis (tidak merata) dan kurang terkoordinasi serta persenjataan pihak kaum imperialis jauh lebih canggih. Walaupun perlawanan para pahlawan Islam tersebut dapat dipatahkan oleh kaum penjajah, namun perlawanan dan perjuangan umat Islam terus benlanjut dengan berbagai bentuk dan cara, sehingga kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia betul-betul terwujud.

2. Masa Perang Kemerdekaan

a. Peranan Ulama Islam Pada Masa Perang Kemerdekaan

Para ulama memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong umat Islam untuk berpartisipasi dalam perjuangan pada masa perang kemerdekaan. Para ulama adalah orang Islam yang mendalami ilmu agama, sehingga mereka menjadi tempat bertanya umat, dan sekaligus menjadi panutan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasnlullah SAW yang artinya, “Ulama itu bagaikan pelita (obor) di muka bumi, sebagai pengganti para Nabi dan sebagai pewaris para Nabi”, (H.R. Ibnu Adi dari Ali bin Abi Thalib).

Peranan ulama Islam Indonesia pada masa perang kemerdekaan ada dua macam:
  • Membina kader umat Islam, melalui pesantren dan aktif dalam pembinaan masyarakat. Banyak santri tamatan pesantren kemudian melanjutkan pelajarannya ke Timur Tengah, dan sekemhalinya dari Timur Tengah. mereka menjadi ulama besar dan pimpinan penjuangan. Di antaranya adalah : K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdul Halim, H. Agus Salim, dan K.H. Abdul Wabab Hasbullah.
  • Turut benjuang secara flsik sebagai pemimpin perang.Para pahlawan Islam yang telah berjuang melawan imperialis Portugis dan Belanda, seperti: Fatahillah, Sultan Baabullab, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan Habib Abdurrahman, adalah juga para ulama yang beriman dan bertakwa, yang berakhlak baik dan bermanfaat bagi orang banyak sehingga mereka menjadi panutan umat.
Demikian juga pada masa penjajahan Jepang. banyak para ulama yang berperang memimpin bala tentara Islam melawan imperialis Jepang, demi menegakkan martabat dan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Mereka ituu antara lain: Mohammad Daud Beureuh (pemimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan KH. Zaenal Mustafa (pemimpin pesantren Sukamanah di Singaparna. Jawa Barat).

b. Peranan Organisasi dan Pondok Pesantren Pada Masa Perang Kemerdekaan

Sebelum abad ke-19, perlawanan terhadap penjajah Belanda yang dipimpin oleh raja-raja Islam dan para ulama masih bersifat lokal, sehingga dapat dipatahkan oleh kaum penjajah. Baru pada awal abad ke- 19, gerakan perlawanan terhadap kaum penjajah lebih terorganisasi. Semua berjuang bersama demi tercapainya tujuan utama, kemerdekaan Indonesia.

Organisasi-organisasi tersebut antana lain:

1. Serikat Dagang Islam/Serikat Islam

Serikat Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirta Adisuryo pada tahun 1905 di Kota Solo. Tujuan organisasi ini pada awalnya adalah menggalang kekuatan para pedagang Islam melawan monopoli pedagang Cina (yang mendapat perlakuan istimewa dari  penjajahan Belanda) dan memajukan agama Islam.

Selanjutnya atas usul Haji Omar Said Cokroaminoto pada tahun 1912 Serikat Dagang Islam diubah menjadi Serikat Islam (SI), bertujuan bukan hanya untuk memajukan para pedagang Islam, tetapi lebih luas lagi, yaitu untuk menghapus penderitaan, penghinaan, dan ketidakadilan yang menimpa seluruh rakyat Indonesia akibat ulah pen- jajahan Belanda.

HOS. Cokroaminoto
(HOS. Cokroaminoto/Image source: tirto.id)

Gerakan Serikat Islam mendapat sambutan luar biasa. Dengan berbagai cara, pemerintahan Belanda berusaha mempersulit gerak Serikat Islam. Namun, perkumpulan ini terus brkembang pesat. Dalam waktu singkat anggotanya mencapai hampir satu juta orang.

Pada tahun 1914 telah berdiri 56 perkumpulan lokal Serikat Islam yang telah resmi berbentuk badan hukum yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Untuk menyeragamkan gerak dan langkah, pada tanggal 18 Maret 1916 dibentuk wadah Serikat Islam Sentral, yang diketuai oleh Haji Omar Said Cokroaminoto.

Pada bulan Juni 1916 Serikat Islam mengadakan kongresnya yang pertama yang dinamai Kongres Nasional Serikat Islam. Di dalam kongres itu dijelaskan bahwa istilah “Nasional” digunakan untuk mempertegas bahwa Serikat Islam mencita-citakan adanya suatu “Nation” bagi rakyat Indonesia (baca penduduk pribumi).

Dengan demikian, Serikat Islam merupakan organisasi yang secara tegas melakukan upaya-upaya nyata untuk mempersatukan rakyat Indonesia menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

Pada tahun 1923 Sentral Serikat Islam mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam (PSI). Kemudian ruang lingkup gerakannya pun diperluas, bukan hanya terbatas di dalam negeri saja, tetapi melebar ke manca negara dengan jalan mencari hubungan sekaligus dukungan dan gerakan-gerakan Islam di Negara-negara lain di seluruh dunia. Gagasan gerakan Islam Internasional ini dikemukakan oleh Kyai Haji Agus Salim, dengan nama pan-Islamisme.

2. Muhammadiyah

Organisasi Islam Muhammadiyah didirikan di kota Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912. Peranan Muhammadiyah pada masa penjajahan Belanda lebih dititik beratkan pada usaha-usaha mencerdaskan rakyat Indonesia dan meningkatkan kesejanteraan mereka, yakni dengan mendirikan sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah agama, rumah sakit, panti asuhan, rumah-rumah penampungan bagi warga miskin dan perpustakaan-perpustakaan.

KH. Ahmad Dahlan
(KH. Ahmad Dahlan/Image source: www.sejarahone.id)

Pada tahun 1925, tidak lama setelah pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan wafat, Muhammadiyah sudah tersebar di semua kota besar di seluruh Indonesia serta berhasil membangun dan mengelola 1774 buah sekolah, 31 buah perpustakaan, 834 masjid, puluhan rumah sakit, panti asuhan, dan rumah-rumah penampungan bagi warga miskin.

3. Nahdlatul Ulama (NU)

NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh penting dalam upaya pembentukan NU adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah. Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU banyak melakukan usaha untuk memajukan dan memperbanyak pesantren, madrasah serta pengajian-pengajian dengan maksud memajukan Islam dan kaum Muslimin.

KH. Hasyim Asy'ari
(KH. Hasyim Asy'ari/Image source: duta.co)

Pada masa penjajahan Belanda, NU senantiasa berjuang menentang penjajah dan pernah mengeluarkan pernyataan politik yang isinya :
  • Menolak kerja rodi yang dibebankan oleh penjajah kepada rakyat.
  • Menolak rencana ordonansi (peraturan pemerintah) tentang perkawinan tercatat.
  • Menolak diadakannya Milisi (wajib militer).
  • Menyokong GAPI dalam menuntut Indonesia yang memiliki parlemen kepada pemerintah kolonial Belanda.

4. Pondok Pesantren

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang penyelenggaraan pendidikannya bersifat tradisional dan sederhana. Mata pelajaran yang diajarkan di pesantren adalah: Ilmu Tauhid, Fikih Islam, Akhlak, Ushul Fikih, Nahwu, Saraf, dan Ilmu Mantik. Sumber pelajarannya, biasanya, kitab-kitab berbahasa Arab yang tidak berharakat atau gundul, yang biasa disebut dengan “Kitab Kuning”.

Para pendidik dan pengajarnya biasa disebut kiai, sedangkan murid-muridnya disebut para santri. Mereka bertempat tinggal di lokasi yang sama, yaitu pondok pesantren.

Para santri yang belajar di pesantren datang dari berbagai pelosok tanah air. Setelah selesai, mereka kembali ke daerahnya masing-masing. Kebanyakan mereka mendirikan pesantren di daerahnya atau mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat sekitar di daerahnya. Pesantren merupakan tempat mencetak generasi muda Islam agar kelak menjadi kader umat dan pemimpin masyarakat.

Sebagai kader umat dan pemimpin masyarakat, Islam mengajarkan agar mereka bersatu untuk berjuang meraih kemerdekaan yang telah dirampas oleh penjajah. Itulah sebabnya kemudian para kiai dan santri mendirikan organisasi bersenjata untuk melawan penjajah, yaitu Hizbullah dan Gerakan Kepanduan Islam.

Tidak sedikit para kiai dan para santri yang mengangkat senjata berperang melawan kaum penjajah. Di antara kyai tersebut antara lain: Imam Bonjol di Sumatera dan H. Zaenal Mustafa di Jawa Barat.

3. Masa Pembangunan

a. Peranan Umat Islam pada Masa Pembangunan

Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia, umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk, tampil di barisan terdepan dalam perjuangan, baik perjuangan fisik (berperang) maupun perjuangan diplomasi. Anda semua tentu mengetahui bahwa tidak lama setelah proklamasi bangsa Indonesia dihadapkan pada peperangan-peperangan melawan Negara-negara penjajah yang ingin kembali menancapkan kekuasaannya di bumi Indonesia.

Di tahun-tahun awal kelahirannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia harus menghadapi Jepang (September 1945), negara Sekutu (November 1945 - Maret 1946), dan Belanda (Agresi Belanda I pada 21 Juli 1947 dan Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948).

Selain itu, kemerdekaan negara Republik Indonesia dipertahankan melalui usaha-usaha diplomatik, yaitu perundingan antara Indonesia dan Belanda, misalnya: perundingan Linggarjati (November 1946), perjanjian Renville (Desember 1947), perjanjian Roem Royen (April 1949), dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag (2 November 1949). Alhamdulillah, berkat perjuangan segenap bangsa Indonesia yang tidak mengenal lelah, baik melalui perjuangan fisik maupun diplomatik, akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tahun 1949 M.

Dalam usaha mengisi kemerdekaan, pemerintah dan segenap bangsa Indonesia melakukan usaha-usaha pembangunan dalam berbagai bidang demi tercapainya tujuan nasional yang diamanatkan oleh UUD 1945. Usaha-usaha pembangunan yang berencana dan terarah dimulai semenjak Repelita I (1969-1973) dan seterusnya.

Adapun bidang-bidang yang dibangun oleh segenap bangsa Indonesia, di mana umat Islam merupakan mayoritas adalah bidang agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam.

Apakah pada masa ini kita bangsa Indonesia, telah dapat mencapai cita-cita hidup berbangsa dan bernegara? Yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila? Silakan kamu jawab sendiri!

b. Peranan Organisasi Islam dalam Masa Pembangunan
Organisasi Islam yang ada pada masa pembangunan ini cukup banyak, antara lain : Muhammadiyah; Nahdlatul Ulama (NU); Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), berdiri tahun 1947 di Yogyakarta; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berdiri pada 17 April 1960 dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli 1975.

Peranan Muhammadiyah dalam masa pembangunan antara lain:
  • Melakukan usaha-usaha agar masyarakat Indonesia berilmu pengetahuan tinggi. berhudi luhur, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Usaha-usaha itu antara lain : mengadakan pengajian-pengajian, mendirikan sekolah-sekolah agama (madrasah), mendirikan pesantren, mendirikan sekolah umum (TK, SD, SMP, SMU, dan universitas).
  • Melakukan usaha-usaha di bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, antara lain mendirikan Rumah Sakit, Poliklinik, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak), Panti Asuhan, dan Pos Santunan Sosial.
Nahdlatul Ulama, yang pernah berkiprah di bidang politik, dalam perkembangan selanjutnya melalui Munas MU pada tanggal 18 - 21 Desember 1984 di Situbondo, dengan tegas menyatakan bahwa NU meninggalkan aktivitas politik dan kembali ke khittah (tujuan dasar) pada waktu didirikannya tahun 1926. Jadi, dewasa ini NU merupakan organisasi Islam yang bergerak di bidang agama, sosial, dan kemasyarakatan.

Usaha-usaha NU antara lain :
  • Mendirikan madrasah-madrasah, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Perguruan Tinggi.
  • Mendirikan, mengelola, dan mengembangkan pesantren-pesantren. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 H).
  • Membantu dan mengurusi anak-anak yatim dan fakir miskin.
Majelis Ulama Indonesia adalah organisasi keulamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi kepada salah satu aliran politik, mazhab atau aliran keagarnaan Islam yang ada di Indonesia.

Adapun peranan Majelis Ulama Indonesia pada masa pembangunan adalah:
  • Memberikan fatwa dan nasihat keagamaan dalam masalah sosial kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia pada umumnya, sebagai amar ma‘ruf nahi mungkar dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
  • Memperkuat Ukhuwah Islamiah dan melaksanakan kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
  • MUI adalah penghubung antara Ulama dan Umara serta menjadi penerjemah timbal-balik antara pemerintah dan umat Islam Indonesia guna menyukseskan pembangunan nasional.
Pada masa pembangunan ini terdapat pula organisasi Islam yang menampung para cendekiawan Muslim yang disebut ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). ICMI lahir pada Desember 1990 dan berkiprah pada hampir semua aspek kehidupan bangsa. Organisasi ini pertama kali diketuai oleh Prof. DR. B.J. Habibie, yang kemudian menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia.

c. Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Pembangunan

Yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam adalah badan yang berhubungan dengan pendidikan Islam untuk memenuhi kebutuhan umatnya di bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia ada yang didirikan dan dikelola langsung oleh pemerintah (Departemen Agama), seperti: Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Madrasah Aliyah Negeri (MAN), dan Institut Agama Islam Negeri (lAIN). lAIN sekarang berubah inenjadi UIN (Universitas Islam Negeri) yang tidak hanya mendalami ilmu tentang keislaman, seperti Fakultas Syariah dan Ushuluddin, tetapi juga mendalami ilmu pengetahuan umum, seperti Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran.

Selain itu, ada pula lembaga-lembaga pendidikan Islam yang didirikan dan dikelola oleh swasta, tapi di bawah pengawasan serta pembinaan Departemen Agama, seperti: Bustanul Atfal (taman kanak-kanak Islam), Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan perguruan tinggi Islam (seperti : UNIMU, UNISBA, UNISJA, UNISMA, dan lain-lain).

Adapun peranan-peranan kelembagaan Islam dalam pembangunan antara lain:
  • Melakukan usaha-usaha agar masyarakat Indonesia bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
  • Menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
  • Memupuk persatuan dan kesatuan umat.
  • Mencerdaskan bangsa Indonesia.
  • Mengadakan pembinaan mental spiritual.

Biografi Dr. K.H. Idham Khalid

Dr. K.H. Idham Khalid lahir di Setur, Kalimantan Selatan, 5 Januari 1921. Pada tahun 1942 beliau menamatkan pendidikan di Kulliyatul Mu’alimin Al-Islamiah (KMI Putra) Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Beliau memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dan Universitas Al-Azhar, Kairo. Beliau menguasai secara aktif bahasa Arab. lnggris, dan Belanda, serta secara pasif bahasa Jerman dan Prancis.

KH. Idham Khalid
(KH. Idham Khalid/ Image source: kumparan.com)

Karena ketekunannya dalam belajar, keahliannya dalam berorganisasi dan kecintaannya pada perjuangan, beliau merupakan sosok Muslim yang sukses. Kesuksesannya dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain:
  • Pada masa perang kemerdekaan RI aktif sebagai anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan pada tahun 1947 ia menjadi anggota Serikat Kerakyatan (SKJ).
  • Menjadi anggota DPR pada masa pemenintahan Republik Indonesia Serikat dan tahun 1949 - 1950.
  • Menjabat Ketua Umum Pengurus Besar NU (1956 - 1984).
  • Menjabat Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (1956 - 1957), juga menjabat Waperdam II dalam Kabinet Juanda (1957 - 1959).
  • Menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 - 1970).
  • Menjadi Ketua DPR/MPR 1971 - 1977.
  • Menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pada tahun 1977 - 1983.
Sejak tidak banyak kegiatannya di bidang politik beliau aktif di bidang dakwah dan pendidikan. Beliau banyak memberikan ceramah di berbagai tempat dan mendirikan perguruan Islam Al-Ma’arif di Cipete, Jakarta.


0 Tanggapan untuk "Kelas XII Bab 6: Perkembangan Islam di Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel