KH. Abdurrahman Wahid - KangMasroer.Com

KH. Abdurrahman Wahid

KH Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti "yang dihormati".

Riwayat Hidup dan Keluarga

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.

Silsilah Nasab
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Mengacu dari silsilah kakeknya, KH Hasyim Asy’ari dapat diketahui bahwa beliau memiliki darah Tionghoa dan memiliki nasab sampai ke Rasulullah.

Pernikahan

Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute.
Sekilas tentang surat Gus Dur kepada bu Shinta seperti pada foto di atas:
pada foto tersebut Gus Dur menulis catatan pinggir kitab Tarikh al-Fiqh al-Islamiy dengan tulisannya yang indah (kairo 1966), buku yang diberikan gus dur untuk Pujaan Hatinya Ibu Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid.
Arti tulisannya:
"Dengan untaian kata cinta: Untuk Siti Nuriyyah AbdusSyakur (Cairo: 6/9/1966) (AbdurRahman AbdulWahid)
Aku berharap... dengan terkirimnya buku ini kepadamu, kamu akan lebih mengetahui bahwa perputaran sejarah tentang "Tasyri' Al Islamy" yang detail dan benar sangatlah luas sekali, tidak akan bisa dicapai secara sempurna sampai rukun dan furu'nya, hanya dengan sekali pembahasan... jadi kamu harus lebih bersungguh sungguh mempelajarinya seperti target yang telah dicapai buku ini, sekarang dan di masa depan.

ttd:
AbdurRahman AbdulWahid"
Menurut KH Husein, Gus Dur sudah membaca kamus al-'Ain, karya Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi, orang yang pertama membuat tanda baca al-Qur'an lebih lengkap dan kitab-kitab kuning yang awal. Ketika Gus Dur mengurai isinnya, para kiyai dibuat terpesona seakan terhipnotis.

Nikah Jarak Jauh

 Sebagai anak muda, Gus Dur yang penuh aktivitas belajar itu tidak melupakan urusan asmara. Hanya, model bercinta Gus Dur agak berbeda dari remaja saat itu. Hanya akibat tidak mau dilangkahi adiknya yang segera akan melangsungkan pernikahan, Gus Dur meminta tolong kakeknya, KH Bisri Syansuri, untuk melamar gadis pujaannya yang tak lain adalah bekas muridnya ketika Gus Dur mengajar di Pesantren Tambakberas.
Tidak hanya itu, Gus Dur meminta tolong sekaligus mewakili dirinya naik ke pelaminan. Gadis itu adalah Siti Nuriyah, putri H Abdulah Syukur, pedagang daging terkenal. Seorang gadis yang memang sebelum pergi ke Mesir telah "dipesan melalui orang tua gadis itu. Ia kemudian tidak pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Komunikasi hanya melalui surat. Dan ternyata Gus Dur langsung menikahinya dengan cara yang unik pula: nikah jarak jauh.
Nikah jarak jauh yang cukup unik itu berlangsung di Tambakberas, 11 Juli 1968. Sebagaimana permintaan dia, wakil pengantin laki-laki adalah Kiai Bisri Syansuri. Perkawinan unik dan langka ini membuat suasana perkawinan betul-betul istimewa, bahkan sempat membuat geger tamu undangan.
Bagaimana tidak, pengantin laki-laki sudah tua. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada 11 September 1971, pasangan Gus Dur-Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan. Pernikahan yang unik itu menghasilkan empat putri. Mereka adalah Alissa Munawwarah, Arifah, Chyatunnufus, dan Inayah.
Keluarga Gus Dur tak jauh berbeda dari model keluarga lain. Konsepnya tentang suami-istri, misalnya, pernah diungkapkannya. "Istri itu yang terbaik kalau nggak ikut campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah nggak mau tahu urusan istri. Yang penting menghormati hak masing-masing. Saya nggak pernah cerita-cerita.

Wafat
Gus Dur menderita banyak penyakit dan beberapa kali ia mengalami serangan stroke, serta diabetes dan gangguan ginjal. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut. Menurut KH Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.
Pendidikan

Pendidikan Awal

Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama dan selanjutnya ibunya mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH Ali bin Maksum bin Ahmad di Pondok Pesantren [[Krapyak, Yogyakarta]. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di PesantrenTegalrejo, Magelang. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambak Beras, Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga terlibat sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.

Pendidikan Luar Negeri

Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.
Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa pelajaran di universitas tersebut sangat jauh di bawah pembelajaran di pesantren yang telah diterimanya, sehingga ia masih memanfaatkan waktunya untuk menonton film dan pertandingan sepak bola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa, ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.
Di Mesir, Gus Dur dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka, perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan.
Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar, pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Gus Dur dengan cepat belajar dan juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Gus Dur ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Gus Dur pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.

Silsilah Keilmuan

  • KH Wahid Hasyim
  • KH Ali bin Maksum bin Ahmad, Krapyak

Penerus Beliau

Murid

Dimensi ketokohan Gus Dur sangat luas sehingga dalam perkembangannya menghasilkan banyak murid-murid yang lintas dimensi keilmuan dan aktivitas

Murid Ideologi

  • Prof. Dr. Mahfud MD

Murid Keagamaan

Keturunan

Hasil pernikahan beliau dengan ibu Sinta dikaruniai 4 orang putri, antara lain:
  • Alissa Qotrunnada
  • Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny)
  • Anita Hayatunnufus
  • Inayah Wulandari.

Jasa dan Karya Beliau

Awal karier

Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut "Prisma" dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Gus Dur juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Gus Dur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Gus Dur memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah dan surat kabar. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu,ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Gus Dur tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada tahun 1977, Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gus Dur mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi.

Pengelolaan Nahdlatul Ulama

Awal keterlibatan

Latar belakang keluarga Gus Dur sangat berarti, sehingga ia diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Gus Dur akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta, sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Gus Dur memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Gus Dur menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, Gus Dur selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.

Mereformasi NU

Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur. Pada 6 Mei 1982, Gus Dur mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Akhirnya Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Gus Dur berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Gus Dur juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.

Terpilih sebagai Ketua pada Masa Jabatan Pertama

Reformasi Gus Dur membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Gus Dur sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Gus Dur sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Gus Dur sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Gus Dur terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Gus Dur mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Hal ini merenggangkan hubungan Gus Dur dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.

Masa Jabatan Kedua dan Melawan Orde Baru

Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Gus Dur merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Masa Jabatan Ketiga dan Menuju Reformasi

Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Gus Dur tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya yang memiliki popularitas besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto. Gus Dur menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU, selanjutnya beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur. Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia sakit pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Gus Dur melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya. Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

Kisah Teladan Beliau

Reformasi

Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur

Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden. Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR

Sidang Umum MPR dan Terpilih menjadi Presiden

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki kursi mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati keberatan dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Masa Kepresidenan

Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup.

Kiprah Internasional

Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir.
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto. Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya mundur.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.
Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia. Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.

Huru-Hara Politik di Masa Sebelum Pelengseran

Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, namun urung dilaksanakan.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia. Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Pada bulan Maret, menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan. Gus Dur meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.

Fakta Pelengseran dari Presiden

Jauh hari sebelum tahun 1999, Gus Dur sudah yakin akan jadi Presiden dan sudah yakin tidak akan bertahan lama hal ini sebagaimana diceritakan oleh banyak teman Gus Dur. Hal tersebut juga disampaikan oleh sejarawan penulis biografi Gus Dur, yaitu Greg Burton yang menyampaikan bahwa Gus Dur sudah tahu bila dalam pemerintahannya tanpa melakukan deal dan kompromi politik, maka pemerintahannya tidak akan bertahan lama, dan sebagai konsekuensinya pasti Gus Dur akan turun sebagai presiden.
Namun demikian Gus Dur tetap berpegang kepada pendapatnya bahwa dalam pembangunan demokrasi Indonesia, yang mana itu jauh lebih penting daripada mempertahankan jabatannya sebagai presiden yang mana itu menjadi salah satu bagian dari korban atau modal dari pembangunan demokrasi Indonesia itu sendiri.
Dalam acara Fakta Kejatuhan Gus Dur yang diselenggarakan oleh Wahid Institute pada tanggal 4 Januari 2012 tersebut, pak Mahfud MD juga menjelaskan secara rinci terkait Bulog gate, yang mana tuduhan korupsi kepada Gus Dur dari pengelolaan Bulog tersebut tidak terbukti dan Kejaksaan Agung setelah melakukan penelitian dan penelaahan menyatakan Gus Dur tidak terlibat dalam korupsi Bulog gate.
Selanjutnya tentang sumbangan dari warga negara Brunei juga tidak dapat dikenakan kasus hukumnya dikarenakan sumbangan tersebut bukan beral dari negara Brunei untuk negara Republik Indonesia, sehingga dalam kasus tuduhan korupsi sumbangan Brunei atau yang lebih sering disebut sebagai Brunei Gate tersebut, Gus Dur juga tidak terlibat. Kedua kasus tersebut, yaitu Bruneigate dan Buloggate diproses oleh panitia khusus (pansus) DPR dalam konteks tata negara karena permasalahan gesekan politik saja.
Usaha dalam melakukan gerakan kekuatan politik oleh DPR pun dilanjutkan melalui Memorandum I yang dikeluarkan oleh DPR karena Gus Dur menolak melanjutkan pertemuan dengan DPR. Memorandum I tersebut berbunyi, “Presiden patut diduga melanggar haluan negara”. Hal ini tidak sesuai dengan Tap (Ketetapan) MPR, karena Tap MPR menyatakan bahwa “Memorandom dapat dikeluarkan bila Presiden sungguh-sungguh benar terbukti melanggar haluan negara”, tambah Mahfud MD yang juga ahli hukum tata negara tersebut.
Dikarenakan Gus Dur menolak memorandum DPR tersebut, lalu DPR mengeluarkan Memorandum II, namun memiliki keanehan karena dasar untuk mengeluarkan Memorandum II tersebut berbeda dengan dasar dalam mengeluarkan Memorandum I. Akhirnya Sidang Istimewa DPR justru diadakan karena urusan pergantian Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Jendral Bimantoro dan bukan karena permasalhan Bruneigate maupun Buloggate.
Pengeluaran Memorandum II tersebut pun juga melanggar prosedur karena seharusnya baru dapat dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2001, maupun DPR memaksa melakukannya pada tanggal 23 Juli 2001. Sedangkan tentang Sidang Istimewa MPR juga melanggar prosedur juga, karena bila terkait dengan urusan penggantian Kapolri, seharusnya dalam mengeluarkan Memorandum harus mulai dari Memorandum I dan Memorandum II terlebih dulu. DPR/ MPR dan Gus Dur dalam konteks kenegaraan sama-sama melanggar konstitusi, MPR menekan dengan melakukan Sidang Istimewa dan Gus Dur membalas dengan Dekrit Presiden.
Dalam masa huru-hara politik di seputar lengsernya Gus Dur, terdapat banyak upaya deal politik untuk kompromi yang ditolak dengan tegas oleh Gus Dur. Beberapa parpol meminta menteri dan meminta pengaturan menteri-menteri dalam kabinet Gus Dur, namun Gus Dur menolak dengan tegas karena melanggar hak prerogatif Presiden dan membahayakan demokrasi yang sedang dibangun Indonesia.
Terdapat kelompok yang mengaku dari kelompok tokoh Islam yang menjanjikan dukungan kepada Gus Dur dengan mengerahkan massa di Jakarta asalkan Gus Dur mengeluarkan dekrit yang mengubah Indonesia menjadi Negara Islam. Itu pun ditolak oleh Gus Dur dengan menggebrak meja yang menyatakan, “Lebih baik saya tidak menjadi Presiden, daripada merusak negara ini!”. Gus Dur benar-benar menolak semua tawaran kompromi dalam pertarungan politik demi pembangunan demokrasi Indonesia. Gus Dur juga memilih kalah dalam pertarungan politik dibandingkan mengembalikan tongkat komando Kapolri kepada Jendral Bimantoro.
Kesimpulan penting dalam peristiwa pelengseran Gus Dur adalah bahwa Gus Dur tidak terlibat korupsi baik Bruneigate maupun Buloggate dan rela turun dari kursi Presiden daripada harus merusak bangunan demokrasi Indonesia yang menjadi landasan cita-cita kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.
Sebuah kalimat dari Gus Dur yang masih terngiang di telinga banyak rakyat Indonesia adalah, “tidak ada kekuasaan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah”. Kalimat ini menjadi penegas Gus Dur untuk menolak menggunakan kekuatan fisik rakyat yang telah bersumpah berani mati dalam mendukungnya, karena sebagaimana diketahui Gus Dur adalah ketua PBNU beberapa periode dan juga memiliki darah biru ulama Nahdlatul Ulama serta dianggap wali oleh banyak orang, tentu memiliki banyak pendukung.

Hikmah bagi Indonesia dalam Peristiwa Pelengseran Gus Dur

Menyeimbangkan Kekuatan Legislatif di Hadapan Eksekutif
Paska presiden Suharto yang mana lembaga Eksekutif memiliki kekuatan yang sangat dominan terhadap lembaga Legislatif, oleh Gus Dur diseimbangkan, sehingga posisi antara Eksekutif dan Legislatif menjadi sama dan seimbang sesuai perundang-undangan.

Indonesia adalah Negara Islam Terbesar yang Demokratis

Gus Dur yang merupakan tokoh Islam yang telah menjabat Ketua Umum PBNU beberapa periode, memiliki darah biru dari ulama pendiri Nahdlatul Ulama, yang dianggap sebagai wali oleh banyak orang, telah menolak adanya hegemoni mayoritas, pemaksaan kehendak dengan mengadu rakyat pembelanya demi jabatan presidennya.

Aktivitas setelah Lengser dari Kepresidenan

Perpecahan pada tubuh PKB

Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November. Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah Munas Matori selesai, Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.

Pemilihan Umum 2004

Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.

Oposisi terhadap Pemerintahan SBY

Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.

Penghargaan

Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.
Wahid dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru. Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study. Pada 21 Juli 2010, meskipun telah meninggal, ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010.[69] Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.

Tasrif Award-AJI

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.

Doktor Kehormatan

Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lembaga pendidikan:
  • Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
  • Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
  • Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)

Kisah Waliyullah Gus Dur

Kado Istimewa Gus Dur untuk Istri Penjual Duren

Seorang wali adalah kekasih Allah yang mampu menebar rahmah di muka bumi. Ia membantu mereka yang dibutuhkan, mereka yang menangis kepada tuhannya di malam-malam sunyi karena kepada tuhannyalah tumbuh keyakinan nasib ditentukan.
Kisah ini menunjukkan penghargaan atas nilai kemanusiaan Gus Dur yang sangat mendalam kepada rakyat kecil yang membutuhkan, yang telah diabaikan sehingga Allah mengirimkan Gus Dur untuk memberi bantuan.
Sebagai tokoh yang dihormati, menerima undangan di berbagai daerah merupakan kegiatan rutin. Suatu ketika, Gus Dur mendapat undangan ke kota Malang. Ia mampir dulu ke kota Batu. Di tengah perjalanan, ia minta berhenti ketika terdapat seorang penjual durian, membeli dua buah, tetapi anehnya, sang pedagang diberinya uang segepok.
Yudhi, sang sopir yang menemani Gus Dur keheranan, beli dua durian saja kok uangnya banyak banget. Biasanya kalau orang beli sesuatu, ditawar-tawar dahulu sampai dapat harga yang cocok. Ini tanpa ba-bi-bu, langsung dikasih uang banyak. Meskipun demikian, ia tak berani berkomentar apa-apa dan mengikuti perintah Gus Dur untuk melanjutkan perjalanan ketika uang sudah diserahkan.
Namun rasa penasarannya tak hilang atas kejadian tersebut. Pertanyaan kenapa penjual durian dikasih uang yang sangat banyak selalu muncul dalam hati. Tak tahan atas rasa tersebut, beberapa hari kemudian, ia mendatangi penjual durian tersebut untuk mencari informasi lebih lanjut. Tapi ternyata kedai durian tutup.
Ia pun tambah penasaran, setelah tanya kiri-kanan, akhirnya alamat penjual durian diketahui, posisinya di sebuah desa yang susah dilalui kendaraan, tapi sudah terlanjur basah, ia pun bertekad menelusuri misteri ini.
Setelah dicari-cari, akhirnya ditemukan juga rumah tersebut. Begitu sampai, pintu diketuk, tapi tidak ada penghuninya. “Ada apa gerangan” pikirnya dalam hati.
Ia pun menanyakan ke tetangga rumah, ke mana perginya penghuni rumah. Lalu dijelaskan bahwa pemilik rumah sedang mengantarkan istrinya untuk berobat. Sudah lama belahan jiwanya sakit, tetapi tidak punya uang untuk berobat sehingga dengan sangat terpaksa hanya bisa diam di rumah dan menjalani pengobatan ala kadarnya.
Kepada tetangganya itu, ia pamitan untuk menjaga rumahnya karena akan ditinggal selama beberapa hari. Ia pergi untuk mengobatkan istrinya setelah baru-baru ini, dengan tiba-tiba didatangi oleh Gus Dur dan dikasih uang yang cukup memadai untuk biaya pengobatan yang sudah lama didambakannya.
Yudhi pun hanya diam termagu setelah memahami kejadian tersebut dan makna yang terkandung di dalamnya. Ia lalu menceritakan kronologi peristiwa sebelumnya yang membuatnya sampai mencari-cari penjual durian ini.

Dikerjai Habib Abu Bakar bin Hasan al-Atthas

Sejak berada di Mesir, Habib Abu Bakar bin Hasan al-Atthas berteman baik dengan Gus Dur. Jarak dan rasa sungkan sudah lama putus di antara keduanya.
Suatu hari Gus Dur dan Habib menginap di sebuah hotel di Jawa Barat. Habib tahu, teman karibnya ini selalu minta dibayar tiap kali di hotel atau rumah makan. Kali ini, ia ingin menguji “kebakhilan” Gus Dur.
Saat tiba waktu check-out, Habib keluar kamar lebih dulu.
“Tolong nanti yang bayar penginap di kamar nomor ini. Namanya KH Abdurrahman Wahid,” ucap Habib kepada kasir hotel.
Dengan dituntun, Gus Dur ke arah pintu keluar sambil celingukan.
“Di mana habib itu?” sergahnya.
Sejenak kemudian, langkahnya tertahan.
“Maaf Pak Yai, urusan kamar Pak Yai sama Habib belum beres,” kata kasir hotel.
Cucu pendiri NU ini bingung, “Maksudnya?”
“Pembayarannya.”
“Waduh…” Gus Dur menepuk jidat. “Mana bawa uang aku. Ya udah utang dulu aja, ya,” tutur Gus Dur sembari menyodorkan KTP.
Di depan pintu hotel, Habib cekikikan dari dalam taxi yang sedang diam di pelataran. (Mahbib Khoiron)

Kesaksian Non Muslim Soal Karomah Gus Dur

Gus Dur tokoh pluralis yang menjadi pembela kelompok minoritas. Tak heran ia memiliki banyak teman dari kalangan non Muslim yang merasa nyaman dan terlindungi oleh Gus Dur.
Beberapa teman dekatnya dari non muslim menyaksikan fenomena kewalian yang dimiliki oleh Gus Dur, seperti Marsilam Simanjuntak dan Irwan David Hadinata, sebagaimana dituturkan oleh Mahfud MD (ketua Mahkamah Konstitusi) dalam bukunya “Setahun bersama Gus Dur: Kenangan menjadi Menteri di saat Sulit”
Catatan Mahfud MD menyebutkan suatu ketika ia bertanya kepada Marsilam Simanjuntak- seorang yang dikenal dekat dengan Gus Dur, sekalipun ia seorang non Muslim.
“Sebagai kawan lama Gus Dur, apakah Pak Marsilam mempercayai kegaiban,” tanya Pak Mahfud.
Jawaban Marsilam cukup mengherankan Pak Mahfud. Marsilam mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak percaya pada hal-hal seperti itu.
“Tetapi saya memang punya pengalaman aneh dengan Gus Dur,” ungkap Marsilam dengan mimik serius yang kemudian bercerita tentang kejadian pada 1999.
Pada pertengahan 1999, kelompok Forum Demokrasi (Fordem) mengadakan rapat untuk menggeser Gus Dur dari jabatan ketua. Menurut Marsilam, teman-temannya di Fordem banyak mengeluh karena Gus Dur telah lupa pada Fordem dan lebih banyak mengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Untuk itu, Gus Dur akan diminta mundur dari jabatannya sebagai ketua Fordem. Yang menarik, pada pertemuan itu, sebelum diminta oleh forum, Gus Dur langsung menyatakan akan berhenti karena merasa dirinya memang tidak tepat lagi memimpin Fordem.
Gus Dur mengaku sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk terus memimpin Fordem. Gus Dur juga mengatakan bahwa ia tidak seterampil serte teliti seperti Marsilam.
“Lagi pula, kemarin saya didatangi oleh Mbah Hasyim yang memberitahu bahwa bulan Oktober ini saya akan jadi Presiden. Jadi, saya tidak bisa terus di Fordem,” demikian Gus Dur menceritakan adanya berita gaib dari KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama).
Padahal, pada saat itu, nama Gus Dur belum muncul sebagai calon presiden yang signifikan. Poros Tengah yang kemudian mengusung nama Gus Dur saja ketika itu belum lahir.
Tidak aneh, kata Marsilam, banyak diantara orang Fordem yang mendengan pidato Gus Dur itu menanggapinya dengan sikap berbeda-beda. Ada yang tertawa karena menganggap Gus Dur melakukan improvisasi atas pengunduran dirinya, ada yang seperti sedih karena menganggap Gus Dur sudah tidak normal, tetapi ada juga yang heran karena ekspresi Gus Dur yang cukup serius ketika mengatakan itu. Dan ternyata, pada Oktober menjadi Presiden sesuai dengan pesan gaib yang –kata Gus Dur sendiri- diterima dari KH Hasyim Asy’ari.
Irwan David Hadinata, seorang mantan tentara dan alumus ITB yang kini bergerak dalam dunia bisnis, pernah menyampaikan cerita yang sama dengan cerita Marsilam kepada Mahfud MD. Menjelang Pemilu tahun 1999, kira-kira delapan bulan sebelum menjadi Presiden, Gus Dur memberitahu kepada Irwan bahwa dia akan menjadi Presiden. Dua bulan sebelum terpilih menjadi Presiden, Gus Dur kembali memberitahu bahwa pada bulan Oktober dia akan menjadi Presiden. Semula Irwan tidak terlalu serius menanggapi pemberitahuan itu dan untuk sekedar berbasa-basi saja kalau saat itu dia menjawab
“Mudah-mudahan Pak Abdurrahman Wahid benar-benar menjadi presiden.” Irwan menjadi sangat kaget ketika pada bulan Oktober 1999 Gus Dur benar-benar menjadi presiden.
“Di kalangan teman-teman pemeluk agama Katolik, Gus Dur itu disamakan dengan ‘Santo’ yakni orang suci yang dikalangan orang Islam disebut ‘wali’,” kata Irwan.

Kesaksian Sopir Pribadi Soal “Kesaktian” Gus Dur

Salah satu saksi hidup dari kemampuan spiritual Gus Dur adalah seorang sopirnya, Khoirul atas beberapa kejadian yang dialami bersama ketua umum PBNU tiga periode ini. Tentu saja, kejadian yang dialami berputar soal kisah di jalan raya.
Suatu ketika, ia sedang berada di Majenang Cilacap mengantar Gus Dur dan beberapa orang anggota rombongan dalam dua mobil. Saat itu sudah jam 12 siang dan Gus Dur mengajak pulang karena di rumah ada tamu yang harus ditemuinya pada jam 13.00.
Ia pun segera putar arah dan mobil rombongan di belakang mengikutinya di belakang. Karena sudah ada janji, ia ngebut, tetapi tak yakin bisa segera sampai di Ciganjur, tempat tinggal Gus Dur tepat waktu. Ia berpikiran, paling-paling bisa sampai di Jakarta pukul 3 atau 4 sore mengingat jaraknya yang sangat jauh. Rute yang harus dilalui masih sangat jauh karena harus melewati kawasan Puncak yang jalannya kecil, berliku-liku dan naik turun. Saat itu belum ada tol Cipularang.
Ia pun tetap menggeber mobilnya secepat yang bisa ia lakukan. Mobil rombongan satunya di belakang tidak kelihatan, tampaknya sudah jauh ketinggalan.
Singkat kata, sampailah mobil yang disetirinya di rumah Gus Dur dan ia merasa lega selamat sampai di rumah. Ia menengok jam tangannya. Angka yang masih diingatnya sampai sekarang, “pukul 13.12 menit”. Jakarta Cilacap hanya ditempuh dalam waktu 1 jam lebih sedikit. Dan Gus Dur tidak terlambat menerima tamunya yang juga baru saja sampai. Rombongan mobil di belakangnya baru sampai di Ciganjur pukul 16.30, beda empat jam lebih dari perjalanannya.
Kisah lainnya adalah ketika Gus Dur berjanji menjemput tamunya di bandara Soekarno Hatta pada pukul 1 siang. Ia masih di ujung Tol Cikampek, yang kondisinya sedang macet sehingga diperkirakan baru jam tiga sampai di bandara, tapi faktanya. Tapi ia bisa sampai tepat waktu di bandara untuk menemui tokoh kehormatan tersebut.
Yang lebih spektakuler lagi kejadian ketika Gus Dur mau berangkat ke NTB untuk memenuhi undangan di sana dan hanya ada satu kali penerbangan dari Jakarta. Pikirannya sudah dag dig dug, “Bisa ngejar pesawat apa tidak”. Mereka bertiga bersama dengan Aries Junaidi, mantan sekretaris Gus Dur dalam perjalanan di kawasan Kuningan yang terkenal sebagai daerah kemacetan. Semuanya terdiam dalam perjalanan yang menegangkan tersebut, suasana dan mobil yang biasanya penuh obrolan dan canda ini sunyi.. Matanya melirik ke arah Gus Dur yang dilihatnya sedang komat-kamit sambil menundukkan kepala.
Aries minta turun di Mampang Prapatan karena mau membesuk salah satu kenalannya yang sedang dirawat di RS MMC. Ia pun segera meneruskan perjalanannya ke Bandara. Disana staff Gus Dur, Sulaiman dan Yuni sudah mengurus check in tiket dan ketika ampai, Gus Dur bisa tinggal boarding saja.
18 menit kemudian, Aries Junaidi meneleponnya, menanyakan sudah sampai dimana, ternyata ia sudah balik dari bandara menuju ke Ciganjur sementara Aries sendiri masih belum turun dari ojek.
“Iki, nek nurut akal ora iso, wong aku sing nyekel (kejadian itu, kalau menurut akal ngak mungkin, karena saya sendiri yang nyetir mobilnya”

Pelurusan Kontroversi Seputar Beliau

Benarkah Gus Dur Menyatakan Al Qur'an Kitab Suci Porno?

Informasi bahwa Gus Dur telah menghina Al Qur'an dengan menyatakan sebagai kitab suci porno begitu disanterkan oleh kelompok-kelompok yang memang sejak awal tidak suka dengan Gus Dur. Namun sejatinya informasi yang disebarkan tersebut adalah pemotongan sepihak dari komentar Gus Dur sehingga menimbulkan persepsi yang sangat negatif dan cenderung kepada fitnah.
Informasi yang berhasil dikumpulkan dari pernyataan yang dianggap sebagai pernyataan Gus Dur itu pertama kali diucapkan pada saat acara radio “Kongkow Bareng Gus Dur” di Kantor Berita 68H, Jakarta, yang mengudara setiap Sabtu. Melalui ucapan di radio itu-lah, perkataan Gus Dur kemudian tersebar, banyak dikutip oleh media dan segera menimbulkan kehebohan.
Menurut Muhammad Guntur Romli, salah satu pengisi acara di Kabar Berita tersebut, Gus Dur sama sekali tak pernah melontarkan pernyataan bahwa Al Qur'an adalah kitab suci porno. Pernyataan Gus Dur yang lengkap ialah: “Porno itu letaknya ada dalam persepsi seseorang. Kalau orang kepalanya ngeres, dia akan curiga bahwa Al Qur'an itu kitab suci porno, karena ada ayat-ayat tentang menyusui. Bagi yang otaknya sudah ngeres (memiliki kecenderungan untuk berpikir negatif), menyusui berarti mengeluarkan dan men-tetek, dan ada juga roman-romanan antara Zulaikha dan Yusuf.” (Lihat “Ustad, Saya Sudah Di Surga”, M. Guntur Romli).
Jika kita membaca secara lengkap dan memahami konteks pernyataan Gus Dur, maka diketahui bahwa tidak benar Gus Dur mengatakan “Al Qur'an adalah kitab suci porno”. Satu-satunya yang mendukung adanya pernyataan itu adalah ucapan Gus Dur yang dipenggal secara licik dan dipelintir sedemikian rupa. Sehingga beredarlah kabar angin bahwa Gus Dur mengatakan hal demikian.
Ini persis dengan pemenggalan ayat “Fa Wail lil Mushalliin” (celaka-lah untuk orang yang shalat), tapi tidak melanjutkan bacaan ayat-nya secara utuh. Pemenggalan ayat itu akan menimbulkan persepsi yang salah dan tidak mendapatkan gambaran yang seutuhnya tentang substansi yang ingin disampaikan oleh Tuhan.
Demikian pula dengan kasus Gus Dur. Ucapan yang dipenggal tentu akan menimbulkan persepsi yang salah dan tidak memahami substansi menyeluruh pernyataan Gus Dur. Akhirnya publik-pun hanya menilai apa yang dibawa oleh media tanpa menyeledikinya lebih jauh mengenai konteks ucapan dan isi ucapan yang menyeluruh.

Benarkah Gus Dur Membela Arswendo (Pemimpin Tabloid yang Dianggap Menghina Nabi Muhammad)?

Sebuah Upaya Besar untuk kebebasan Pers
Gus Dur sudah sejak awal tahun 1990an memahami bahwa kebebasan pers, kebebasan yang bertanggung jawab, adalah salah satu aspek penting dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Pers yang bebas, terbuka, dan tidak dapat dibungkam oleh kekuasaan menjadi titik perjuangan yang harus dikembangkan dan dijaga.
Tahun 1990an adalah tahun di mana presiden Suharto memiliki kekuatan absolut terhadap seluruh penjuru negari, pihak atau individu yang tidak setuju akan sangat mudah dilibasnya untuk tetap menjaga ritme pembangunan agar tidak terganggu, sebuah tujuan yang bagus walaupun mengandung kekawatiran akan kekuatan tak terbatasnya, hal ini terbukti bahwa seolah kekuatan Legislatif (DPR dan MPR) serta Yudikatif bahkan kekuatan pertahanan dan keamanan dalam kendali presiden Suharto.
Kiprah Gus Dur dalam kebebasan pers terbukti ketika, sebuah tabloid terbitan Kompas-Gramedia, yaitu tabloid Monitor, membuat survey kepada pembacanya pada 15 Oktober 1990 yang menempatkan Nabi Muhammad SAW di peringkat ke-9. Menurut hasil jajak pendapat itu, yang paling dikagumi pembaca Monitor adalah Soeharto di urutan teratas, disusul BJ Habibie, Soekarno, dan musisi Iwan Fals di tempat ke-4. Arswendo di peringkat 10. Meski Soeharto berada di atas, Presiden RI ini langsung membreidel tabloid yang dipimpin oleh Arswendo Atmowiloto. Meski dianggap diktaktor, Soeharto masih menghormati Nabi Muhammad SAW. Saat itu beberapa tokoh nasional seperti KH. Hasan Basri, KH Zainuddin MZ, Jalaluddin Rakhmat, Nurcholis Madjid, Amien Rais, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), dan masih banyak lagi, mengecam survey yang berbau SARA itu, seluruh suara yang terbaca di surat kabar adalah seolah paduan suara yang tidak setuju dengan hasil jejak pendapat tabloid tersebut dan mengecam Arswendo.
Namun pembredelan itu justru dikritisi Gus Dur, beliau justru membela tabloid Monitor. Gus Dur yang waktu masih Ketua Umum PBNU menjadi seolah magnet pengimbang suara yang membela kepada Arswendo. Gelombang protes pun berbalik ke Gus Dur, ucapan sumpah serapah, dan bahkan menjurus fitnah kepada pengkafiran pun diterima Gus Dur. Namun, sejatinya pembelaan Gus Dur tidaklah kepada Arswendo ataupun kepada tabloid Monitor, pembelaan Gus Dur adalah kepada pencegahan pembredelan dan pencabutan usaha pers yang dikawatirkan menjadi preseden penghapusan kebebasan pers. Hal ini terungkap dalam wawancara Gus Dur sebagai berikut, "Saya nggak belain siapa-siapa, saya nggak belain Arswendo, memang Arswendo juga kurang ajar, kok. Tetapi persoalannya bukan di situ. Persoalannya adalah bahwa demokrasi itu tidak bisa menerima adanya pencabutan SIUPP, terhadap siapa pun, itu berarti nggak demokratis".
Gus Dur mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai ulama atau kyai berpengaruh untuk disumpahi dan dituduh oleh banyak kalangan demi pembangunan pers yang bebas dan bertanggung. Andai hal ini tidak dilakukan oleh Gus Dur, maka jadilah kita, Indonesia masuk kepada fase pemberbolehan untuk membredel izin usaha pers yang berujung kepada penghapusan kebebasan pers. Bila kita menengok kepada kasus-kasus kekisruhan di banyak negeri saat ini, sebagai contoh di belahan negara-negara Arab dan Afrika Utara, jelas faktor kebebasan pers adalah faktor penting untuk pembangunan mereka atau bahkan pencegahan kepada huru-hara negeri itu.

Cara Gus Dur Mengajar

Sepulang dari Baghdad, 1971, Gus Dur langsung mengajar di pesantren Tebuireng dan menjadi dekan Fak. Ushuluddin Unhasy. Saat mengajar inilah, para santri dibikin geleng-geleng sama kapasitas keilmuan Gus Dur.
Jika mengajarkan sebuah kitab, lebih dulu GD menceritakan seputar penulisnya, dari biografi, genealogi keilmuannya, nama guru-guru, konteks sosial politik di zamannya, hingga puncaknya GD menyampaikan resume isi buku. Lengkap, komplit!
Barulah setelah itu pengajian dimulai. GD biasanya membawa beberapa lembar isi kitab saja (maklum kitab kuning tidak dijilid rapi seperti sekarang), membacanya beberapa paragraf, kemudian.....adegan ini selalu berulang: GD menjelaskan beberapa baris kalimat, lalu memberi 'syarh' dan 'hasyiyah', kadangkala ditinjau dari perspektif sosiologi, budaya, politik, sastra, sejarah dlsb. Tergantung pembahasan 'matan' kitab.
Tidak cukup sampai di sini, GD lalu mengkontekstualisasikan pembahasan isi kitab dengan perkembangan kontemporer saat itu. Santri Tebuireng (dan pondok lain) saat itu memiliki akses terbatas mengakses informasi dunia luar, dibikin terbengong-bengong dengan kucuran informasi dan analisis GD tentang Perang Arab-Israel, AS pasca perang Vietnam, potensi raksasa dunia (revolusi kebudayaan China), penghargaan Nobel dunia, politik kontemporer Indonesia, hingga bahasan mengenai NU. Komplit, plit, plit...
Lucunya, setelah asyik menjelaskannya panjang lebar, GD secara mendadak TERTIDUR!!! Karena tak ada santri yang berani membangunkan, akhirnya mereka cuma diam kethop-kethop mikir ulasan yang disampaikan GD sebelumnya. GD biasanya hanya terlelap dalam hitungan menit, terbangun, berwudlu, lalu ngajar lagi, sambil memulai menanyakan "Tadi sampai baris mana ya?"
Demikian adegan ini sering terulang. Akhirnya, meskipun ngaji kitabnya tidak selesai-selesai karena terlalu banyak "untold information" yang diselipkan, para santri tetap enjoy saja karena banyak wawasan baru!

Diolah dari beberapa sumber antara lain: 
  • Wikipedia Indonesia
  • NU Online
  • Event Fakta Pelengseran Gus Dur, Wahid Institute, 4 Januari 2012
  • Komunitas Gusdurian dari berbagai sumber
  • Dan sumber lainnya

0 Tanggapan untuk "KH. Abdurrahman Wahid"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel