Mengintip Pesona Keindahan Toleransi di Balik Legenda Seribu Candi - KangMasroer.Com

Mengintip Pesona Keindahan Toleransi di Balik Legenda Seribu Candi

“Cinta memang butuh bukti, bukan sekedar janji”. Kata-kata inilah yang mungkin saat itu terbersit di benak Bandung Bondowoso ketika cintanya ditolak secara halus oleh Roro Jonggrang. Kita sendiri mungkin bisa membaca isi hati Roro Jonggrang di balik penolakan cintanya kepada Bandung Bondowoso.

Ya, apalagi alasannya kalau bukan karena seorang pangeran yang gagah perkasa itu ternyata adalah laki-laki yang telah membunuh ayahnya, Prabu Boko. Alasan itulah yang kemudian mendorong Roro Jonggrang untuk mengajukan dua syarat: membuat sumur raksasa Jalatunda dan seribu candi dalam waktu semalam!

Sepertinya memang tidak masuk akal. Namun dengan kekuatan cinta dan tekad yang kuat, ternyata Bandung Bondowoso dengan mudah berhasil membangun sumur Jalatunda. Kini, ia hanya tinggal menyelesaikan persyaratan kedua, membangun seribu candi. Bagi seorang Pangeran yang sakti, pekerjaan itu tentu bukan sesuatu yang teramat sulit. Dengan kesaktiannya, ia berhasil meminta bantuan para makhluk halus untuk membangun seribu candi.

Menyaksikan pembangunan seribu candi itu hampir selesai, Roro Jonggrang mulai khawatir. Ia segera membangunkan seluruh perempuan desa untuk mulai menumbuk padi dan membakar jerami pada sisi timur desa. Tak ayal, ayam-ayam pun terperdaya dan mulai berkokok bersaut-sautan. Pun demikian dengan para makhluk halus yang membantu Bandung Bondowoso. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan pekerjaan yang sudah mencapai 999 candi.

Syahdan, ketika mengetahui bahwa kegagalannya itu adalah akibat dari tipu muslihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso pun murka. Ia kemudian mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu, sekaligus untuk melengkapi sebagai candi yang ke seribu. 
Si Zizi, bidadari kecilku pun tertidur pulas dalam buaian legenda Roro Jonggrang

Begitulah legenda asal mula Candi Sewu yang konon merupakan 999 candi yang belum selesai. Konon, menurut legenda, arca Durga yang berada di ruang sebelah utara Candi Prambanan adalah perwujudan dari Sang Putri yang disulap menjadi batu oleh Bandung Bondowoso.

***

Legenda Roro Jonggrang yang sudah saya dengar sejak kecil itu kembali memenuhi benak saya saat itu. Ketika kami (saya, istri, dan Zizi, si bidadari kecil) keluar dari pelataran Candi Roro Jonggrang atau Candi Prambanan ini, kemudian melangkahkan kaki menyusuri jalan-jalan kecil yang menghubungkan Candi Prambanan ke Candi Sewu.
Keluar dari pelataran utama sebelah utara Candi Prambanan untuk menuju ke Candi Sewu

Ya, Candi Sewu memang berada satu kompleks dengan Candi Prambanan. Tepatnya, berada di sebelah utara Candi Prambanan. Jaraknya lumayan cukup menguras energi jika ditempuh dengan jalan kaki. Sehingga, bagi Anda yang tak biasa jalan kaki, maka dapat memanfaatkan kendaraan yang disediakan oleh pengelola tempat wisata ini.
Kendaraan yang bisa ditumpangi dari Candi Prambanan menuju Candi Sewu

Kami sendiri lebih memilih untuk berjalan kaki sembari menapaki jejak-jejak Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang di tempat ini. Dengan berjalan kaki, saya bisa menikmati pesona kehidupan zaman dahulu yang tergambar dari candi-candi lain yang terletak di antara Candi Prambanan dan Candi Sewu.

Pertama adalah Candi Lumbung, letaknya sekitar 500 meter dari Candi Prambanan. Candi yang diduga menjadi pusat peribadatan keagamaan ini terdiri dari sebuah Candi Induk yang dikelilingi oleh 16 candi kecil. Di sekeliling dinding luar Candi Induk ini, terpahat relief gambar pria dan wanita. Yang membuat menarik, adalah ukuran reliefnya yang hampir sama dengan ukuran manusia sebenarnya. Sebuah hal yang jarang dijumpai di candi-candi lain.
Kompleks Candi Lumbung, candi Budha di utara Candi Prambanan

Tak jauh dari Candi Lumbung, jika kita melangkahkan kaki ke arah utara, maka kita akan menemukan sebuah candi yang diberi nama Candi Bubrah. Seperti namanya, candi ini benar-benar bubrah, yang dalam bahasa Jawa berarti rusak.

Dari papan informasi di depan candi, tertulis bahwa candi berukuran 12 m x 12 m ini tersusun dari batu andesit. Beberapa temuan mengindikasikan bahwa Candi Bubrah ini adalah candi Budha yang pernah berdiri dengan damai di sebelah candi Hindu terindah di Asia Tenggara; Candi Prambanan.
Seperti namanya, kondisi candi ini benar-benar bubrah. Semoga bisa direkonstruksi kembali..

Selesai mengintip keindahan yang tergambar dari Candi Lumbung dan Candi Bubrah, kami terus berjalan ke utara menuju tempat berdirinya Candi Sewu. Lumayan melelahkan, namun sepadan dengan pesona keindahannya. Sehingga tak terasa, kami sudah sampai di pelataran menuju pintu masuk ke Candi Sewu, candi Budha terbesar kedua di Indonesia setelah Borobudur.
Inilah Candi Sewu, Candi Budha terbesar kedua di Indonesia!

Di luar kisah Roro Jonggrang yang beredar di masyarakat, Candi Sewu ini diperkirakan dibangun pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran, sekitar abad ke-8 Masehi. Candi Sewu, yang dalam bahasa Jawa berarti seribu, hanya menunjukkan hiperbolisme sebagai pengganti kata banyak sekali. Menurut sejarahnya, nama asli Candi Sewu adalah Manjusri Grha yang berarti Rumah Manjusri, salah satu nama Buddhisatva dalam ajaran Budha.

Menurut sumber yang bisa dipercaya, sebenarnya Candi Sewu hanya berjumlah 249 candi. Dari sejumlah candi tersebut, terdiri dari 1 Candi Utama, 8 Candi Pengapit dan 240 Candi Perwara. Nah, salah satu keunikan dari kompleks candi ini adalah semua bangunan candi disusun dalam posisi yang simetris dengan Candi Utama yang berada di tengah-tengah.
Candi Pengapit di kompleks Candi Sewu

Memasuki area pelataran, saya menemukan empat pintu gerbang di empat sisi mata angin yang masing-masing dijaga oleh satu pasang patung Dwarapala. Patung ini digambarkan dengan bentuk fisik raksasa besar dengan mata melotot, rambut panjang yang diikat dengan ular, serta tangannya memegang gada. Meski menyeramkan, bagaimanapun saya harus masuk melewati dua Dwarapala ini untuk menikmati keelokan Candi Sewu ini secara dekat.
Inilah Dwarapala, penjaga Candi Sewu yang menyeramkan itu..

Langkah saya pelan menapaki pelataran luar candi yang dibangun pada abad ke-8 atas perintah penguasa Mataram saat itu. Dari pelataran luar, saya bisa menikmati Gunung Merapi di kejauhan yang puncaknya seperti terbelah sebagai akibat aktivitas vulkaniknya.
Merapi yang menjulang tinggi, satu pesona  yang bisa diintip dari Candi Sewu

Saya memandangi Candi Utama penuh kekaguman. Sungguh, saya menyukai arsitektur Candi Utama ini. Bukan hanya karena bentuknya yang bersudut-sudut yang memberi kesan keunikan. Akan tetapi, atapnya pun dibuat seakan berlapis dan memiliki pembatas yang sedemikian indahnya. Bagi saya, Candi Sewu memang sebuah mahakarya yang luar biasa.
Candi Utama di Candi Sewu, salah satu mahakarya Rakai Panangkaran yang luar biasa

Di abad ketika teknologi penggunaan semen dan rumus matematika tentang konstruksi belum ditemukan, Candi Sewu dibangun hingga ketinggian sekitar 30 meter. Di tiap atapnya yang berjumlah sembilan, terdapat stupa pada puncaknya. Relief-relief yang terpahat indah di dinding candi semakin menambah kesan eksotik yang luar biasa.
Relief eksotik yang terpahat di dinding Candi Pengapit

Seakan telah mendapat restu dari dua Dwarapala, saya menaiki tangga sebelah timur Candi Utama menuju selasar Candi. Di ketinggian lantai ini, saya terpana menikmati lebih jelas keindahan puncak Merapi yang seakan terbelah. Hari yang luar biasa! Tiba-tiba sejumput lamun terbang menggoda benak. Teringat legenda kesaktiannya, apakah Bandung Bondowoso masih dalam kemurkaan abadinya sehingga membelah Puncak Merapi? Entahlah.
Mengintip di antara legenda dan mitos: stupa Candi Sewu dan puncak merapi!

Sambil mengusir lamunan, pelan saya melangkah ke ruang dalam candi. Di dalamnya terdapat tempat untuk meletakkan benda-benda untuk peribadatan. Konon, Candi Sewu memang merupakan candi Budha yang saat itu digunakan untuk berbagai kegiatan peribadatan bagi masyarakat bumi Mataram yang beragama Budha.
Pemandangan dari ruang dalam Candi Utama di Candi Sewu

Saya kembali membayangkan indahnya kehidupan antar umat beragama di masa itu. Masyarakat Mataram yang sebagian beragama Hindu dan sebagian lain beragama Budha hidup rukun berdampingan dengan penuh toleran. Sebuah nilai yang kini mulai memudar di tengah kemajemukan masyarakat bangsa kita.

Sambil berharap nilai-nilai toleran sebagaimana yang tergambar di Candi Sewu ini senantiasa bersemi kembali, saya melangkah menyusuri candi hingga ke sisi barat. Di balik keteduhan candi karena tak terkena sinar sang mentari, saya kembali melihat ke pelataran. Di sana masih menyimpan sejuta cerita indah yang tersembunyi di balik ribuan reruntuhan batu yang hingga hari ini masih belum tersusun dengan rapi.
Sejuta kisah masih tersembunyi di balik ribuan reruntuhan batu

Candi Sewu dan candi-candi di sekitarnya adalah salah satu peradaban yang mempesona di bumi Indonesia. Selain keindahan arsitekturnya, di sana terpancar pula keindahan toleransi antar umat beragama. Candi Sewu, Lumbung, dan Bubrah yang berlatar belakang Budha, berdiri berdampingan mesra dengan Candi Prambanan, candi Hindu terbesar di Indonesia.

Sungguh, keindahan toleransi yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ribuan kata rasanya tak akan mampu menerjemahkan keindahan Candi Sewu serta candi-candi ini. Maka, kunjungilah mahakarya dengan ribuan pesona yang selalu bisa meluluhkan hati siapapun yang mendatanginya. Untuk kemudian terjebak pada kecintaan yang mendalam, sebagaimana cintanya Bandung Bondowoso kepada Roro Jonggrang.
Sebelum pulang, mari berfoto dulu! Sebagai saksi pesona keindahan toleransi di balik legenda seribu candi..

2 Tanggapan untuk "Mengintip Pesona Keindahan Toleransi di Balik Legenda Seribu Candi"

  1. dan aku belum pernah kesini hahaha liat ulasan ini fix bikin mupeng liburan bareng keluarga kesini 😂👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayuk mbak, segera direncanakan.. Sekalian trip keliling jogja...

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel